Retail therapy adalah praktik membeli barang yang tidak diperlukan sebagai cara untuk meredakan stres atau emosi negatif, seperti kesedihan atau kecemasan. Menurut Journal of Consumer Psychology, retail therapy dapat memperbaiki mood karena adanya perilaku belanja yang memberikan pengalaman positif serta merangsang hormon dopamin dalam otak. Namun, retail therapy berbeda dengan self reward. Perbedaan paling mendasar antara keduanya adalah retail therapy didorong oleh emosi negatif dan dilakukan sebagai cara untuk menahan emosi tersebut.
Melansir sebuah penelitian yang diterbitkan di Journal of Psychology and Marketing, Amerika Serikat, rupanya orang yang belanja saat dalam keadaan mood sedang buruk biasanya membeli lebih banyak. Terdapat 62% pembeli yang belanja banyak barang untuk menghibur diri, sedangkan 28% belanja untuk merayakan sesuatu.
Terlebih dengan adanya kemajuan teknologi saat ini yang memungkinkan untuk belanja online lewat smartphone, membuat kegiatan belanja semakin mudah dilakukan.
Namun, apakah retail therapy efektif untuk meredakan stres? Atau jangan-jangan malah menimbulkan masalah baru khususnya pada kondisi keuangan? Hingga amit-amit berujung cekcok dengan pasangan.
Seperti yang terjadi pada seorang pria asal Sichuan, Cina yang nekat mencoba bunuh diri lantaran stres setelah mengetahui tagihan kartu kreditnya mencapai 300 ribu yuan atau setara Rp602,5 juta. Melansir CNN Indonesia, belakangan diketahui tagihan tersebut merupakan hasil dari sang istri yang kalap belanja online pada momen Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional).
Oleh karena itu, untuk mencegah hal itu terjadi, ini 5 tips untuk menghindari dampak retail therapy yang dapat merugikan kesehatan finansialmu!