Toxic Positivity: Ketika Pikiran Positif Berujung Negatif

Berpikir positif memanglah baik. Namun, jika kita memaksa diri untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi sulit sekali pun, ternyata bisa berdampak negatif dan berujung menjadi toxic positivity.

Durasi baca: 3 menit

Toxic-Positivity-Ketika-Pikiran-Positif-Berujung-Negatif

Toxic Positivity: Ketika Pikiran Positif Berujung Negatif

Berpikir positif memanglah baik. Namun, jika kita memaksa diri untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi sulit sekali pun, ternyata bisa berdampak negatif dan berujung menjadi toxic positivity.

Durasi baca: 3 menit

Jordan ditinggal ayahnya dengan sangat mendadak. Serangan jantung yang menyerang ayahnya membuat ia dan adik satu-satunya menjadi anak yatim tanpa persiapan apapun. Sebelumnya, tak tebersit sedikitpun bayangan di dalam benaknya sama sekali bahwa ia akan kehilangan ayahnya secepat ini. Kepergian ayahnya sebagai satu-satunya pencari nafkah serta-merta menghancurkan semua rasa aman yang selama ini melindunginya dan keluarga.

Saat jenazah ayahnya disemayamkan, banyak orang datang mengucapkan turut berbela sungkawa atas apa yang menimpa keluarganya. Tapi tak sedikit pula yang kemudian malah membuatnya merasa semakin terpuruk dengan melontarkan pernyataan seperti “Kamu nggak usah nangis. Memangnya ayah kamu di sana akan senang kalau kamu nangis terus?” atau “Jangan nangis. Kamu harus kuat untuk ibu dan adikmu”. Padahal, Jordan hanya ingin bersedih dan hanya ingin orang-orang mengerti bahwa perasaannya valid, betapapun ia adalah anak laki-laki tertua yang konon katanya akan menjadi “kepala keluarga”.

Kisah Jordan tersebut sering kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa kita sadari hal itu adalah toxic positivity. Jadi apakah toxic positivity itu? Bagaimana supaya kita tidak toxic positive dan cara mengatasinya?

Bagaimana Membedakan Positivity dan Toxic Positivity?

Berpikir positif memanglah baik. Namun, dalam beberapa kondisi, pikiran positif yang terlalu dipaksakan justru malah menimbulkan hasil yang tidak baik. Misalnya seperti dalam kisah Jordan di atas. Ketika Jordan sedang merasakan kesedihan akibat kematian ayahnya, tapi malah para kerabatnya mengabaikan perasaan sedihnya dengan berbagai pernyataan yang mereka ucapkan. Pada akhirnya, justru sikap seperti itulah yang membuat seseorang merasa perasaannya tidak valid dan malah memberikan dampak negatif bagi orang tersebut.

Masalahnya, tidak banyak dari kita mengetahui bagaimana caranya membicarakan topik yang menyedihkan atau tidak nyaman, dan hal tersebut seringkali membuat kita gagal bersikap dengan baik. Meskipun hal tersebut barangkali terasa normal dan manusiawi, sebetulnya penting untuk memperhatikan bagaimana kita merespons curhatan atau cerita orang lain. Kegagalan bersikap itu datang dari niatan ingin membuat orang lain merasa lebih baik, tetapi biasanya justru menimbulkan hasil sebaliknya, membuat orang lain semakin merasa terluka.

Dengan kata lain, toxic positivity adalah keyakinan bahwa tidak peduli seberapa buruk atau sulitnya suatu situasi, orang harus mempertahankan pola pikir positif. Tentu tak dapat dimungkiri bahwa ada manfaat untuk menjadi optimis dan memiliki pemikiran positif, tetapi yang menjadi masalah dari toxic positivity adalah bahwa ia menolak emosi yang sulit demi keceriaan, yang sering kali emosi positif yang palsu.

Tentu saja ada perbedaan mendasar antara pola pikir positif yang sesungguhnya dengan toxic positivity. Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat kamu waspadai untuk mengidentifikasi toxic positivity:

  1. Menyingkirkan masalah daripada menghadapinya
  2. Merasa atau memberi anjuran untuk tidak merasa bersalah karena sedih, marah, atau kecewa
  3. Menyembunyikan perasaan Anda yang sebenarnya di balik kutipan perasaan senang yang tampaknya lebih dapat diterima secara sosial
  4. Menyembunyikan atau menyamarkan perasaanmu yang sebenarnya
  5. Mencoba untuk tabah atau “mengatasi” emosi yang menyakitkan

Dampak Negatif Toxic Positivity

Toxic positivity secara umum akan membuat orang merasa dirinya lebay atau berlebihan, atau juga takut dianggap berlebihan oleh orang lain, ketika merasakan kesedihan. secara psikologis, hal-hal tersebut dapat membuat orang terdampak dari bahayanya toxic positivity, seperti:

1. Merasa perasaannya tidak valid

Kesedihan adalah hal yang normal dalam menghadapi duka. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk move on atau bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli dengan kesedihannya. Bahkan, mungkin saja ia akan merasa perasaannya tidak valid sebab tidak ada yang dapat mengerti dan cenderung disepelekan. Orang tua yang kehilangan seorang anak, misalnya, mungkin merasa bahwa anak mereka tidak penting bagi orang lain, sehingga menambah kesedihan mereka.

2. Mengisolasi diri dari lingkungan sekitar

Orang yang merasakan tekanan untuk tersenyum dalam menghadapi kesulitan cenderung tidak mencari dukungan. Mereka bisa jadi merasa terisolasi atau malu dengan perasaan mereka, menghalangi mereka untuk mencari bantuan. Lebih jauh lagi, dampak yang muncul akibat dirundung karena perasaannya dianggap berlebihan juga bisa membuat orang mengambil langkah untuk tidak berinteraksi dengan orang lain dan menutup diri.

3. Tertekan karena tak dapat meluapkan emosinya

Merasa tak ada orang yang mengerti perasaannya, membuat seseorang mengisolasi diri dari lingkungan dan menumpuk masalahnya sendiri alih-alih berbagi ke tempat berkeluh-kesah. Emosi yang tak terluapkan membuat seseorang merasa semakin tertekan.

4. Berpotensi menimbulkan masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti depresi

Menahan perasaan tanpa ada tempat cerita yang baik karena adanya stigma negatif akibat toxic positivity membuat kondisi psikologis seseorang semakin tertekan. Apalagi, menurut American Psychiatric Association, stigma dapat menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental. Akumulasi perasaan negatif yang tak tersalurkan ditambah dengan stigma dan ketakutan untuk mencari pertolongan memperparah kondisi orang yang berduka.

5. Self-esteem yang rendah

Toxic positivity mengajak seseorang untuk menyangkal seluruh emosi negatifnya dan memaksa agar dapat terus berpikir positif. Tentu saja hal ini tidak mungkin dapat berlangsung terus menerus. Ketika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka cenderung akan menganggapnya sebagai sebuah kegagalan. Hal ini dapat memengaruhi tingkat self-esteem orang yang bersangkutan.

Apa yang Harus Dilakukan Jika Kamu Menjadi Korban Toxic Positivity?

Jika kamu merasa sudah terpapar toxic positivity, atau jika kamu mengenali adanya perilaku semacam ini dalam dirimu, ada beberapa hal yang dapat kamu lakukan untuk pendekatan yang lebih sehat dan lebih suportif, antara lain:

1. Kelola emosi negatifmu, tetapi jangan menyangkalnya

Emosi negatif dapat menyebabkan stres jika tidak dikendalikan, tetapi jika dikelola dengan baik, dapat memberikan informasi penting yang dapat membawa perubahan yang bermanfaat dalam hidupmu.

2. Akui apa yang kamu rasakan

Saat kamu menghadapi situasi stres, kita akan rentan merasa khawatir, atau bahkan takut. Dalam situasi tertentu, kamu bisa saja mengidentifikasi lebih dari satu jenis emosi, dan itu wajar. Kadang perasaanmu serumit situasi itu sendiri, dan itu tak apa-apa. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Fokus pada pemulihan dan ambil langkah-langkah yang dapat membantu memperbaiki situasimu.

3. Carilah tempatmu berkeluh kesah.

Bila kamu merasa perlu tempat bercerita, carilah temanmu yang kamu rasa dapat menjadi pendengar yang baik. Bahkan, tidak ada salahnya jika kamu ingin konseling dengan tenaga profesional, seperti psikolog dan psikiater. Mencari bantuan profesional untuk menangani masalah kesehatan mentalmu bukanlah sebuah aib dan kamu tak perlu malu melakukannya. 

4. Perhatikan penggunaan media sosial

Mengikuti akun media sosial yang “positif” terkadang bisa menjadi sumber inspirasi, tetapi perhatikan bagaimana perasaan kamu setelah melihat dan berinteraksi dengan konten tersebut. Jika kamu terus menerus merasa malu atau bersalah setelah melihat konten yang “menyemangati”, itu mungkin karena hal toxic positivity. Maka dari itu, penting untuk memerhatikan penggunaan media sosial agar tak mengalami toxic positivity.

Semoga setelah membaca ulasan ini, kamu bisa jadi lebih aware dengan toxic positivity dan juga kesehatan mentalmu, ya. Sebab kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Selain menjaga kesehatan mental maupun fisik, kamu juga perlu melindungi diri dari berbagai kemungkinan buruk yang mungkin timbul akibat sakit penyakit ataupun tutup usia dengan asuransi. Salah satu produk yang bisa kamu pertimbangkan yaitu Flexi Life.

Flexi Life adalah asuransi ultra fleksibel dari Astra Life yang hadir sebagai solusi perlindungan jiwa untukmu dan keluarga tanpa perlu medical check-up. Kamu bisa mendapatkan uang pertanggungan hingga Rp 5 miliar dan mengatur sendiri masa pertanggungan maupun masa pembayaran premi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanmu. Seluruh uang pertanggungan akan dibayarkan 100% kepada penerima manfaat yang ada di polis apabila orang yang diasuransikan meninggal dunia karena sakit ataupun kecelakaan.

Maka dari itu, tunggu apa lagi? Cek informasi lengkap Flexi Life dan produk Flexi lainnya di laman ilovelife.co.id dan terus update seputar kesehatan, finansial, dan kehidupan di Instagram @astralifeid

Urusan Sehat, No Worries #IGotYourBack

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!