Sebelum mengenali gelagat kekerasan finansial terjadi dalam keluarga, ada baiknya tahu terlebih dahulu fakta soal urusan keuangan keluarga dan posisi perempuan di dalamnya. Di banyak budaya, perempuan sudah jamak jadi “menteri keuangan” dalam keluarga. Namun, yang jadi persoalan, sering kali posisi perempuan hanya “pelaksana” dan “harus terima”.
Misal, istri tidak tahu gaji suami. Berapa pun dikasih uang oleh suami, si istri tidak bisa mempertanyakan dan harus bisa membuatnya cukup untuk memenuhi kebutuhan serumah. Istri tidak dilibatkan dalam perencanaan keuangan atau malah hanya dijatah uang harian untuk segala urusan kebutuhan rumah tangga.
Bila pendapatan dan nafkah dari suami memadai dan mencukupi, situasi itu bisa jadi bukanlah masalah bagi perencanaan keuangan keluarga. Namun, bagaimana bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu saat nominal dari suami pas-pasan apalagi kurang? Terlebih lagi ketika suami malah melarang istri bekerja sekadar untuk menambah pendapatan keluarga meski pendapatan suami tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga urusan memenuhi kebutuhan harian pontang-panting, apalagi memikirkan kebutuhan masa depan. Akibatnya risiko ketika kepala keluarga dan tulang punggung keuangan tak ada lagi tidak diantisipasi.