Lebih Penting Mana, Skill atau Attitude?

Dari cerita soal mahasiswi bibit unggul pun memunculkan pembahasan menarik dalam dunia kerja, yaitu lebih penting mana, skill atau attitude?

Selalu saja ada hal menarik jika memantau aktivitas para netizen di dunia maya. Baru-baru ini, misalnya, saat seorang seniman mendapat kritik dari salah satu mahasiswi yang pernah studi di Jepang gara-gara dianggap berkilah saat berbagi pengalaman menghadapi persoalan saat berkarya.

Pembahasan itu berlanjut panjang. Banyak netizen berpendapat, justru si mahasiswi yang tidak tahu menempatkan diri, bahkan kasar dalam percakapan itu. Dari awalnya pengungkapan diri sang seniman, percakapan yang terjadi setelah itu malah menyoroti jawaban-jawaban tangkisan si mahasiswi.

Sampai-sampai, netizen mengingatkan si mahasiswi yang mengaku sebagai “bibit unggul” karena mendapat beasiswa itu soal masa depannya kelak. Beragam komentar lain pun bermunculan. Salah satu yang menarik adalah komentar, “Wah, alamat bakal ditolak semua perusahaan waktu melamar kerja.” dari salah satu netizen.

Apa sebabnya?

Forum perekrut tenaga kerja, kolom pakar di media massa papan atas internasional, bahkan riset, belakangan makin sering membahas topik pilihan antara skill dan attitude dalam perekrutan pegawai baru. Kesimpulan yang didapat, mayoritas bersepakat, secara umum attitude harus ditempatkan di atas skill bagi calon pekerja yang biasanya masih mencari cara terbaik agar sukses di usia muda.

Hasil riset yang digelar di Inggris pada 2010, misalnya, mendapati 96 persen perekrut mengedepankan attitude dibandingkan skill. Sebaliknya, riset yang sama mencatat, 60 persen pelamar malah mengedepankan skill dibandingkan attitude.

Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan skill dan apa pula maksud attitude dalam konteks ini?

46 persen dari 20.000 pekerja baru yang disurvei kedapatan gagal dalam 18 bulan. Yang lebih mengejutkan, 89 persen kegagalan mereka adalah karena alasan attitude. 

Mark Murphy, penulis Hiring for Attitude yang juga telah menghasilkan buku best seller Hundred Percenters dan HARD Goals, dalam wawancara dengan Forbes edisi 23 Januari 2012 sudah mengindikasikan pentingnya attitude buat membuka jalan karier.

Murphy menyebutkan, 46 persen dari 20.000 pekerja baru yang disurvei kedapatan gagal dalam 18 bulan. Yang lebih mengejutkan, 89 persen kegagalan mereka adalah karena alasan attitude dan hanya 11 persen yang disebabkan kekurangan skill.

Menurutnya, alasan attitude itu mencakup ketidakmampuan menerima arahan, kecerdasan emosional yang rendah, kekurangan motivasi, dan temperamen. Sementara itu, skill teknis tetap penting untuk perekrutan pegawai, namun kemampuan tersebut lebih gampang untuk ditakar. Cukup dengan tes kecakapan, kapasitas teknis calon pegawai sudah dapat diukur.

Hal ini berbeda dengan attitude yang memerlukan soft skillAttitude akan semakin baik atau malah memburuk akan tergantung pada kapasitas dalam soft skill. Tes kecakapan tidak akan dapat mengukur seberapa besar motivasi seseorang belajar hal baru, berpikir inovatif, menerima kegagalan, mengolah masukan dan arahan, atau berkolaborasi dengan kolega.

Sebagai contoh, Murphy menyebut seorang pegawai direkrut karena kecerdasan, pengalaman bisnis, dan ketajaman analisis keuangannya. Namun, semua keunggulan itu dinilai akan percuma bila ternyata dia otoriter dan pengarah yang kaku, sementara tempat kerja barunya menempatkan keceriaan dan persahabatan di atas segalanya.

Masih relevan?

Subhash Iyer masih mengangkat topik ini dalam tulisannya di jejaring sosial Linkedin pada 2017. Iyer menuliskan, attitude yang baik akan membantu seseorang mewujudkan tujuannya. Bukan berarti attitude akan memastikan kemampuan teknis seseorang dalam pekerjaannya. Namun, pekerja berkemampuan teknis tinggi yang hobi menggerutu juga menghambat kerja tim.

Hal ini juga dibahas Business Insider edisi 22 Januari 2018 yang menuliskan, persoalan attitude bisa menyabotase karier seseorang. Seorang petinggi perusahaan saja bisa dipecat hanya karena masalah attitude, apalagi pegawai baru yang belum juga punya banyak kontribusi, bukan?

Dari sini, komentar kebablasan “mahasiswi bibit unggul” dalam cerita pembuka di atas seharusnya sudah memberikan peringatan kepada kita semua, terutama first jobber yang baru saja bekerja. Terlebih lagi, bukan rahasia pula bila perekrut kerja sekarang menjadikan penelusuran jejak digital pelamar kerja sebagai bagian dari verifikasi perekrutan karyawan.

Oleh karena itu, mari mulai belajar untuk menjaga attitude di mana pun, termasuk di media sosial untuk menjadi bekal di masa depan yang tidak cuma digunakan di lingkungan kerja, namun di mana saja Anda berada.

Tidak lupa juga, ada Flexi Lifeasuransi jiwa ultra fleksibel pertama di Indonesia dari Astra Life. Dengan Flexi Life, Anda bisa #AturSendiri premi dan uang pertanggungan (UP) sesuai tahapan hidup. Misalnya, jika saat ini Anda merupakan first jobber berusia 22 tahun yang masih merintis karier, Anda bisa mengambil Flexi Life dengan UP Rp1 miliar dengan premi Rp223.000 per bulan.

Saat karier Anda sudah berkembang di usia 25 tahun nanti, Anda bisa meningkatkan UP ini menjadi Rp1,5 miliar dengan premi Rp370.500 per bulan. Jadi, Anda bisa melindungi diri seumur hidup dengan satu polis yang bisa memberikan UP maksimal Rp5 miliar tanpa cek medis. Mudah dan praktis bukan?

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!