Tapi perjuangan Aleta tidak mudah. Warga setempat tidak mudah dibujuk. Dia harus berusaha keras menyadarkan masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup dan ancaman penambangan batu marmer di kawasan sekitar. Rintangan tidak hanya itu. Atasan Aleta yang berpihak pada perusahaan penambang di Sanggar Suara Perempuan menentang aksinya.
Akibat larangan tersebut, Aleta menyusun strategi perjuangan lain. Pada 1999, dia mulai bergerilya menjalin dukungan. Para tokoh adat ditemui dan dibujuknya pada malam hari. Lamat-lamat perjuangan Aleta berbuah hasil. Dukungan dari masyarakat dan tokoh adat berdatangan.
Tapi, ibarat pepatah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpanya. Begitu pula perjuangan Aleta. Aparat keamanan di lokasi tambang mulai bertindak represif. Mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap penentang penambangan. Bahkan, aparat mengancam bui kepada masyarakat setempat yang menolak penambangan.
Cara-cara kotor dan keji diterapkan aparat, terutama kepada Aleta. Sebab, Aleta dianggap sebagai motor penggerak warga setempat. Aparat mengeluarkan sayembara untuk Aleta. Barang siapa yang berhasil membunuhnya, akan mendapat uang Rp 750 ribu-Rp 1 juta.
Teror pun menjadi jamak bagi Aleta. Rumahnya kerap dilempari batu oleh orang tak dikenal. Bahkan dia pernah dikejar 14 orang sampai ke hutan. Kakinya pun menyisakan bekas perjuangan berupa luka tebasan parang.
Melihat situasi yang mulai berbahaya, Aleta mulai hidup dalam pelarian. Setelah sempat mengungsi di Kupang, dia bersembunyi di hutan selama enam bulan. Aleta saat itu sudah mempunyai tiga anak. Dalam pelarian, dia ditemani anak bungsunya, Ainina Sanam. Sementara, dua anak lainnya tinggal bersama suami Aleta, Lifsus Sanam. Beruntung Aleta memiliki suami Lifsus. “Saya mendukung perjuangan dia mencari keadilan,” kata Lifsus.