Romansa Tokoh Nasional, Dari Cinta Lokasi di Medan Perang hingga Kasih Tak Sampai

Di balik kisah heroik para pejuang kemerdekaan dan tokoh nasional yang menggugah kalbu, terdapat pula cerita cinta yang mereka alami. Intip kisahnya!

Di balik kisah heroik para pejuang kemerdekaan dan tokoh nasional yang menggugah kalbu, terdapat pula cerita cinta yang mereka alami. Bukan hanya perjuangan revolusi dan fisik yang mereka lakoni, tetapi juga perjuangan mengejar sang pujaan hati. Mereka menyesap manis dan getirnya dimabuk asmara. Berikut kisahnya.

Bung Hatta dan Mas Kawin Istimewa

Pada suatu malam 1943, tokoh pergerakan nasional Sartono menggelar jamuan makan malam di rumahnya di Jatinegara, Jakarta Timur. Perhelatan tersebut digelar untuk merayakan kembalinya Sukarno ke Jakarta dari tempat pengasingan di Bengkulu. Hadir pula dalam acara tersebut Muhammad Hatta alias Bung Hatta dan keluarga S.S.A Rachim. Pada jamuan makan malam itu, Bung Hatta ternyata menyimpan hati untuk anak gadis Rachim yang masih berusia 17 tahun, Rahmi Rachim.

Saat itu Hatta masih melajang, meski usianya sudah 41 tahun. Sebab, Hatta bernazar tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Kendati menaruh hati pada Rahmi, Hatta merahasiakannya rapat-rapat. Hingga akhirnya setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menanyakan ke Hatta soal gadis yang diidamkannya. Hatta lantas menyebut nama Rahmi.

Pada November 1945, Bung Karno mendatangi kediaman keluarga S.S.A Rachim di Bandung, Jawa Barat. Dia datang dengan sobat kentalnya, dokter Soeharto. Kepada Ny Rachim, Soekarno mengungkapkan maksud kunjungannya, bahwa ia hendak melamar Rahmi untuk temannya, Hatta.

Suasana lantas berubah hening. Tak lama kemudian, Ny Rachim mengatakan, “Mas Karno, mengenai lamaran ini, saya harus bertanya dulu kepada anak saya, Rahmi. Menurut saya, dia sudah berusia 19 tahun, sehingga sudah saya anggap dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya.”

Ny Rachim tentu saja mempertimbangkan perbedaan usia Hatta, 43 tahun, dan Rahim, 19 tahun. Ia meminta izin kepada Soekarno untuk menanyakan hal tersebut kepada Rahmi.

Bagai disengat petir di siang bolong, Rahmi tersentak mendengar maksud dan tujuang Bung Karno datang ke rumahnya. “Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?” kata Rahmi ke Ny Rachim.

Ny Rachim pun menjawab dengan bijak. “Ini bukan mahasiswa! Dia orang baik, Mohammad Hatta!”

Saat perbincangan tersebut, adik Rahmi, Raharty, sempat ikut nimbrung. “Jangan mau Yuk, orangnya sudah tua,” kata Raharty.

Mendengar penjelasan ibunya dan adiknya, Rahmi kebingungan. Apalagi ketika diajak menemui Soekarno yang menunggu di ruang tamu. Kepada Bung Karno, Rahmi mengatakan ketakutannya. Soekarno lantas tersenyum. “Kamu takut apa? Jangan takut, Hatta itu orang baik, dia pemimpin yang baik, dia juga sahabat saya yang baik.”

Setelah dijelaskan Bung Karno, Rahmi akhirnya menerima lamaran tersebut. Apalagi, Rahmi selama ini menganggap Hatta adalah orang pintar dan taat agama. Selain itu, Hatta dianggap tokoh yang memegang teguh prinsip.

“Ia sangat mencintai Indonesia sehingga berjanji tak hendak beristri sebelum Indonesia merdeka. Itulah janjinya dan ia memenuhinya,” kata Rahmi.

Tepat pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rahmi dalam sebuah pesta di Megamendung, Bogor. Mas kawin pada pernikahan tersebut pun istimewa. Hatta memberikan buah pikirannya berupa buku bertajuk Alam Pikiran Yunani kepada Rahmi.

Ny Rachim sempat terkejut dengan mas kawin berupa buku. Sebab, keluarga mereka cukup berada. Namun, Hatta menganggap buku dari pemikirannya sendiri lebih beharga ketimbang emas dan perhiasan sebagai bukti cinta.

Biduk rumah tangga Hatta dan Rahmi bertahan selama 35 tahun. Maut memisahkan mereka setelah Hatta meninggal pada 1980. Rahmi pun menyusul Hatta pada 1999. Jasad mereka dimakamkan berdampingan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Cinta Lokasi di Medan Perang

Cinta pada pandangan pertama tidak hanya menerjang Hatta. Pahlawan nasional Sutomo atau Bung Tomo pun mengalaminya.

Bung Tomo berjumpa dengan calon pendamping hidupnya, Sulistina, pada November 1945. Tien—sapaan akrab Sulistina—berangkat dari Malang menuju Surabaya untuk ikut berjuang sebagai gadis Palang Merah. Usianya saat itu masih 20-an. Dia tergerak ke Surabaya setelah mendengar pidato berapi-api Bung Tomo.

Di Surabaya mereka bertemu. Pada suatu hari, Tien sedang berada di depan markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia di Tembok Dukuh, Surabaya. Dia mengenakan kaca mata hitam dan celana panjang berwarna biru. Tubuhnya ramping dan kulitnya putih. Bung Tomo kepincut dengan paras Tien.

“Jeng berdiri acuh tidak acuh, seolah-olah tidak melihatku. Gadis lain memperhatikanku, tetapi Jeng tidak,” kata Bung Tomo. Padahal, Tien sadar Bung Tomo menatapnya.

Keesokan harinya, Bung Tomo mendatangi Tien. Dihampiri Bung Tomo, tubuh dan hati Tien tergetar. Bung Tomo lantas meminta Tien mundur dari markas karena alasan keamanan. Tanpa panjang lebar, Tien mengiyakan. Setelah Bung Tomo pergi, Tien menanyakan identitas pria yang menghampirinya kepada orang-orang di sekitarnya. Tien baru tahu bahwa pria yang mendatanginya adalah Bung Tomo.

Upaya Bung Tomo mengejar pujaan hatinya terus berlanjut. Dia mengirim salam ke Tien melalui teman. Bahkan, Bung Tomo mengajak Sulistina mendatangi pertemuan di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang. Dalam pertemuan tersebut, Bung Tomo menyanyi di depan panggung. Lagunya: Rindu Lukisan. Selama bernyanyi, Bung Tomo selalu menatap Tien. Melihat hal tersebut, kawan-kawan Tien mengatakan kepadanya bahwa Bung Tomo menyukainya.

Setelah orang tuanya pindah ke Malang, Bung Tomo makin sering bertemu pujaan hatinya. Pada 1 Januari 1946, Bung Tomo akhirnya memberanikan diri untuk melamar Tien.

Bung Tomo mengatakan kepada Tien, “Aku ingin mencintaimu sepenuh hatiku dan menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka.” Lantas Bung Tomo meraih tangan Tien.

Aksi penjajah Belanda yang makin membabi buta terhadap pejuang kemerdekaan membuat kawan-kawan seperjuangan berencana mengasingkan Sutomo ke Australia. Sutomo pun dipaksa kawan dan kerabat untuk secepatnya menikahi Sulistina.

Bung Tomo akhirnya menikahi Tien pada 19 Juni 1947. Namun, di awal-awal pernikahan mereka, Bung Tomo dan Tien jarang bertemu. Bung Tomo harus pergi ke pelbagai daerah untuk berjuang, sedangkan Tien bersembunyi untuk menghindari penjajah.

Setelah penjajah angkat kaki dari Tanah Air, Bung Tomo dan Tien dikaruniai dua anak. Sempat mengalami masa sulit ketika Bung Tomo menganggur maupun dipenjara karena kritik pedasnya terhadap pemerintah Soeharto.

Setelah keluar dari penjara Nirbaya, Bung Tomo mengajak Tien naik haji pada 1981. Di Padang Arafah, Bung Tomo mengembuskan nafas terakhirnya.

Benci Berujung Cinta

Ainun dan Habibie kenal satu sama lain sejak SMP di Bandung. Namun, siapa kira jika Habibie awalnya tidak tertarik dengan Ainun.

Tujuh tahun setelah sama-sama sekolah di Bandung, saat pulang ke Indonesia untuk cuti kuliah dari Jerman, Rudy–sapaan Habibie–kembali bertemu Ainun. Kali ini pernyataan bertolak belakang diungkapkan Habibie. “Ainun kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!” kata Rudy kepada Ainun.

Ainun lantas tersenyum. Dia lalu mengatakan, “Rudy, kapan kamu tiba dari Jerman?”

Mereka akhirnya asyik mengobrol. Sejak saat itu, muncullah benih cinta di antara mereka.

Keesokan harinya, Rudy kembali bertemu Ainun. Mereka berjalan berdua di kampus Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung.

Setelah berjalan kurang lebih satu jam, Rudy bertanya ke Ainun, “Ainun, maafkan sebelumnya jikalau saya mengajukan pertanyaan yang mungkin dapat menyinggung perasaanmu. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu rencana masa depanmu. Apakah Ainun sudah memiliki kawan dekat?”

Ainun membisu. Lalu Habibie mengulangi pertanyaannya.

Ainun lantas menatap mata Habibie sambil mengucapkan, “Saya tidak memiliki kawan atau teman dekat dan khusus.” Mendengar jawaban tersebut, jantung Habibie berdegup kencang. Mereka akhirnya pulang ke rumah Ainun sambil bergandengan tangan.

Sebelum merampungkan cuti tiga bulan di Indonesia dan kembali ke Jerman, Habibie akhirnya melamar Ainun. Mereka mengucapkan janji setia pada 12 Mei 1962. Mereka menghabiskan bulan madu di Yogyakarta dan Makassar. Setelah itu, Ainun diboyong ke Jerman.

Selama mengarungi bahtera rumah tangga selama 48 tahun 10 hari, Habibie dan Ainun dianugerahi dua putra dan enam cucu.

Ainun meninggalkan Habibie pada 22 Mei 2010 akibat kanker ovarium yang dideritanya. Saat dirawat di rumah sakit, Habibie selalu ada untuk Ainun. Tak heran jika kepergian AInun sempat membuat Habibie mengalamipsychosomatic malignant. Namun, masa-masa sulit tersebut berhasil dilewati Habibie.

Kasih Tak Sampai Tan Malaka

Ketika usianya belum genap 17 tahun, Tan Malaka dijodohkan oleh ibunya, Sinah. Namun, Tan Malaka menolak perjodohan tersebut. Sebab, dia mencintai gadis lain, Syarifah Nawawi. Syarifah teman sekolah Tan Malaka. Dia merupakan perempuan Minang pertama yang sekolah di Gedenkboek Kweekschool, pendidikan ala Belanda.

Ketika melanjutkan studi ke Belanda, Tan Malaka masih mengirim surat ke Syarifah yang belajar di sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi Syarifah tidak pernah membalas surat tersebut. Cinta Tan Malaka bertepuk sebelah tangan. Syarifah menganggap Tan Malaka sebagai pemuda yang aneh. Syarifah akhirnya menikah dengan Bupati Cianjur R.A.A. Wiranatakoesoema yang memiliki lima anak dari dua selir pada 1916.

Tan juga sempat dikabarkan menyukai Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Bahkan hubungan Tan dan Fenny dikabarkan cukup serius.

Situasi politik membuat Tan harus bersembunyi dari kejaran Belanda maupun Kempetai Jepang. Setelah diceraikan Wiranatakoesoema pada 1924, Syarifah dikabarkan kembali dipinang Tan Malaka. Tapi, Tan Malaka ditolak.

Syarifah sudah menjadi janda dengan tiga anak. Wiranatakoesoema menceraikannya pada 1924 karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Menurut Minarsih, Tan mendatangi ibunya dan meminang, tapi lagi-lagi ditolak.

Dalam memoar Dari Penjara ke Penjara, Tan beberapa kali menceritakan soal wanita dalam persembunyiannya dari satu negara ke negara lain. Ada yang menolong, merawat tubuhnya ketika sakit, ataupun disebut sebagai teman. Namun, dia tidak pernah menjelaskan apakah mereka saling mencintai.

Tan sempat dikabarkan dekat dengan keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Paramita Rahayu Abdurrachman. Tan kerap menyambangi rumah Paramita di Cikini. Dalam Majalah TEMPO edisi Agustus 2008, penulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze, mengatakan pernah mewawancarai Paramita. Menurut Poeze, Paramita mencintai Tan, tapi mereka tidak sampai menikah. Musababnya, Tan harus bersembunyi dari Kempetai. Mereka pun putus.

Pada suatu hari, Tan Malaka ditanya temannya, Adam Malik.
“Bung apa Bung pernah jatuh cinta?” tanya Adam.
“Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina, dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, yah, semua itu katakanlah hanya cinta yang tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan,” jawab Tan Malaka.

Karena harus bersembunyi dari kejaran penjajah dalam perjuangan untuk Indonesia, Tan Malaka harus mengorbankan cintanya.

Kisah para tokoh tersebut seakan membuka mata akan perjuangan mereka di balik layar. Anda sendiri bagaimana? Perjuangan cinta seperti apa yang sudah Anda lakukan? Tidak hanya untuk mereka yang Anda cintai lho, tapi bisa juga untuk lingkungan dan orang sekitar. #LoveLife dan buktikan rasa cinta Anda!

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!