Caecilia Dian Tedjapawitra, Merdeka dari Depresi dengan Berbagi Kebahagiaan

Kebahagiaan tak datang begitu saja bagi Dee. Untuk mendapatkannya, ia harus berjuang dulu dengan keras. Pasalnya, ia mengalami depresi.

Siapa yang ingin hidup bahagia? Makna bahagia setiap orang bisa saja berbeda, tidak ada standar yang sama untuk mengukur kebahagiaan setiap individu. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk merasa bahagia. Begitu pula dengan Caecilia Dian Tedjapawitra yang akrab disapa Dee.

Kebahagiaan tak datang begitu saja bagi Dee. Untuk mendapatkannya, ia harus berjuang dulu dengan keras. Pasalnya, ia mengalami depresi. Layaknya bom waktu, Dee mengalami peristiwa-peristiwa yang akhirnya meledak ketika ia disimpulkan berada dalam kondisi depresi.

Saat di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) ia pernah mengalami depresi ringan ketika ditinggal ibunya untuk perjalanan bisnis selama satu bulan. Ini adalah depresi pertama yang dialami Dee, yang membuatnya harus menerima perawatan psikolog.

Tidak berhenti di situ, Dee kerap menerima psychological abuse dari ayahnya. Dee yang merupakan anak tunggal bingung harus bercerita kepada siapa dengan perlakuan ayahnya tersebut. Ia hanya mampu memendam dalam hati semua perlakuan ayahnya. Ia tidak tega bercerita kepada ibunya yang juga mengalami kondisi yang sama.

Kehidupan Dee semakin berantakan ketika ibunya divonis mengidap kanker ovarium stadium 3B. Enam tahun ibunya berjuang melawan kanker ovarium tanpa dampingan ayahnya. Melihat sikap ayahnya, Dee berjuang merawat ibunya sendirian. Tak berhenti sampai di situ, Dee dan ibunya diminta keluar dari rumah, oleh ayahnya. Dee yang kala itu sedang menempuh kuliah di Bandung, terpaksa memboyong ibunya untuk pindah ke Bogor.

“Tepat 2 hari sebelum ulang tahunku, Mama meninggal pada 24 Juni 2010. Aku patah hati, duniaku hancur, tapi aku tidak bisa menangis. Aku melarikan diri dengan main, traveling, bekerja, apa pun kecuali berduka,” tutur perempuan 28 tahun itu.

Berbekal warisan dari mendiang ibunya, Dee melanjutkan hidup dengan berwiraswasta. Namun keberuntungan dan kebahagiaan belum juga berpihak pada Dee. Dua kali bisnis yang dibangunnya gulung tikar di tahun 2011. Bahkan ia mengalami kebangkrutan dalam beberapa investasi yang dipercayakannya kepada seorang perencana keuangan di pertengahan 2013. Dee merasa hidupnya hampa, ia menarik diri dari pergaulan, enggan keluar dari rumah, melampiaskannya ke makanan hingga berat badannya naik 30 kilogram.

“Sejak saat itu aku mengalami depresi hebat, bahkan sempat terpikir untuk bunuh diri. Aku marah pada diriku sendiri dan semua orang,” ucap Dee yang kini berprofesi sebagai konsultan komunikasi.

Rindu pada kepribadiannya yang ceria dan rasa aman, Dee berusaha bangkit di akhir 2013. Dia mulai mencari tahu apa yang sedang dialaminya. Ia mengamati perubahan yang terjadi pada dirinya, serta menganalisanya. Dee pun mulai berbicara dengan teman-teman dekatnya, konsultasi dengan psikolog, nonton film dokumenter tentangmental illness. Kesimpulannya, Dee depresi.

Depresi bisa mulai ditangani dengan berbicara kepada keluarga maupun orang terdekat yang memahami kondisi tersebut. Dee akhirnya memberitahu keluarga dan teman-teman dekatnya bahwa ia depresi. Ia khawatir ia nekat bunuh diri jika tidak dibantu. Maka awal 2014 Dee mulai terapi dengan belajar meditasi dan self healing dibimbing pakar kesehatan Holistik di Jakarta. Dee juga menjalani Zen Counseling dan Tapas Accupressure Technique untuk melepaskan trauma mental.

“Aku juga senang kalau ada keluarga atau teman yang menemaniku di akhir pekan. Sekadar makan bersama atau minum kopi sambil ngobrol,” kata Dee.

Terapi dan dukungan orang-orang terdekat ini kemudian ditambah dengan kesempatan berkarya dengan menjadi penerjemah. Meski berstatus freelancer, pekerjaan tersebut menjadi rutinitas yang menyenangkan bagi Dee. Ia pun merasa kembali memiliki tujuan hidup dan melihat masih ada jalan meraih kebahagiannya sendiri. Ia sadar bahwa masih ada orang yang membutuhkannya.

Tak hanya ingin merasakan kebahagiaannya sendirian, Dee pun berniat berbagi dengan penderita depresi lainnya. Berbekal ide dan kerjasama dengan Andre Adianto dan Jendela Nusantara Media (Jentara), lahir lah Get Happy. Ini merupakan sebuah platform yang menjadi sumber informasi dan edukasi untuk teman-teman yang mengalami depresi dan yang mendampingi penderita depresi. Get Happy dilahirkan dengan tujuan helping others to help us.

Ini adalah contoh Blockquote. Di dalam Blockquote ini hanya berisi text. Tidak ada link atau pun gambar di dalam blockquote serta tidak bisa dibuat lebih bold.

“Kami sedang mengembangkan Get Happy menjadi sebuah komunitas yang nantinya bisa memberikan dukungan bagi yang membutuhkan. Diberi nama Get Happy karena semua orang yang depresi ingin bahagia. Kami merasa tujuannya adalah berproses ke kondisi yang lebih bahagia. Saya merasa bahagia bisa berbagi,” jelas Dee.

Get Happy terbuka untuk siapa saja tanpa dipungut biaya untuk bergabung. Tidak hanya berisi pengalaman depresi, Get Happy juga memuat cara penanganan depresi dari kacamata para psikolog, para terapis, artikel gaya hidup sehat dari pakarnya, serta mengadakan kegiatan-kegiatan bersama, dan lainnya. Dengan kata lain Get Happy bertujuan menjadi “sanctuary” bagi yang mengalami dan mau berjuang melawan depresi.

“Get Happy terbuka untuk semua dan semoga juga berguna untuk semua. Dengan demikian kita tidak perlu merasa takut atau malu mengakui depresi, dan dengan berbagi kita bisa meraih bahagia versi masing-masing,” harap Dee.

Website Get Happy baru saja diluncurkan di alamat get-happy.org. Baru berjalan satu bulan, Get Happy memiliki 163 follower di akun twitternya yaitu @GetHappy. Sedangkan Facebook Page Get Happy mendapat 131 perhatian. Tidak hanya dilakukan melalui media sosial, komunikasi serta kegiatan Get Happy pun digelar pada 11 Oktober 2015 di Taman Langsat Jakarta dengan tema Sharing Circle Get Happy. Telah terdaftar 20 peserta untuk gabung dalam kegiatan ini.

Sharing Circle Get Happy menjadi momen untuk berkumpul, berkenalan, berbagi cerita tentang depresi. Tidak hanya itu, beberapa psikolog dan terapis holistik pun akan dihadirkan untuk berbagi informasi dan tips menangani depresi. Kegiatan yang digelar dari jam 10 pagi ini tidak dipungut biaya.

“Rencananya di bulan November Get Happy juga akan mengadakan kegiatan bertema #ArtTherapy untuk siapa saja yang ingin gabung,” jelas Dian.

Setiap kegiatan, imbuhnya, awalnya dilempar sebagai ide melalui Twitter maupun Facebook. Berbagai ide dan masukan ditampung untuk kemudian direalisasikan. Misalkan saja #ArtTherapy yang bertujuan melepaskan emosi seperti stres, kecewa, menyesal, depresi, sedih dan lainnya melalui kegiatan seperti menggambar pada kain, mewarnai pada kertas besar, maupun kegiatan seni lainnya.

“Get Happy juga menerima berbagai cerita tentang depresi melalui email. Kisah-kisah ini datang dari teman-teman dekat, mantan rekan kerja, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Meski kebanyakan dari mereka enggan disebutkan identitasnya. Nantinya kisah-kisah mereka akan diterbitkan di website Get Happy dengan tujuan untuk berbagi dan mencari saran terbaik untuk kisah yang diceritakan,” tandasnya

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!