Perjuangan Merawat Suami yang Terkena COVID-19 dengan Perawatan di Rumah

Renni Femy SR kalut ketika suaminya dinyatakan terkena COVID-19. Namun, dengan obat terbaik berupa dukungan moral, suaminya bisa sembuh.

Perjuangan Merawat Suami yang Terkena COVID-19 dengan Obat Terbaik di Rumah

Awal Maret ketika virus corona mulai merebak di Indonesia, kita mengetahui pasien terkena COVID-19 dari berita. Tapi sekarang, yang terkena COVID-19 makin dekat dengan kita, mulai dari kerabat, teman, bahkan sampai keluarga sendiri.

Bagi Renni Femy SR, menjaga keluarga dari ancaman virus corona telah ia coba lakukan dengan berbagai daya upaya. Namun ternyata, sang suami yang sudah beberapa lama kembali aktif bekerja di kantor, dinyatakan terkena COVID-19.

Rasa panik tentunya sempat dirasakan Femy, yang masih bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Apalagi mereka memiliki buah hati yang masih berusia tiga tahun. Kepada ilovelife.co.id, Femy membagikan kisahnya yang bisa menjadi pengalaman berharga bagi semua orang di masa pandemi ini.

Tetap tenang dan tangani dengan cepat, itu kuncinya

Minggu, 5 Juli 2020 bukanlah hari yang membahagiakan bagi Femy. Karena di hari itu, suaminya dinyatakan terkena COVID-19 berdasarkan tes polymerase chain reaction (PCR). Mendengar kabar tersebut, ingatan Femy langsung tertuju pada kejadian beberapa hari sebelumnya.

Sang suami memang sempat mengeluhkan kondisi tubuhnya yang menurun sejak 24 Juni. Selama tiga hari, ia mengalami diare dan pada 27 Juni, keluhan bertambah dengan badan yang terasa lemas dan pegal. Hingga ada masanya suhu tubuhnya mulai meningkat. “Waktu itu sekitar 37,8 derajat Celcius. Setelah dikerokin, minum paracetamol dan dibawa tidur, besok paginya dia merasa fit dan kembali kerja lagi,” kenang Femy.

Pada 29 Juni malam, panas tubuh sang suami makin menjadi hingga melampaui angka 39 derajat Celcius. Awalnya, keluarga berasumsi bahwa suami Femy sakit tifus atau demam berdarah dengue (DBD). Namun agak mendapatkan kepastian, suami Femy pun memutuskan untuk menjalani tes darah.

“Dari hasil tes DBD dan tifus negatif. Kala itu, saya sebetulnya mulai curiga terkena COVID-19, tapi keluarga masih berusaha untuk positive thinking,” ujarnya. Meski sudah tidak diare, kondisi tubuh sang suami kian lemas dan mulai sulit mengonsumsi air hingga akhirnya Femy menyewa perawat untuk memasang infus demi memastikan suaminya tidak kekurangan cairan.

“Yang langsung saya pikirkan adalah anakku. Saya mengatur agar PCR anak dan pengasuh dilakukan di rumah agar dia tidak perlu dibawa ke rumah sakit dan lama menunggu hasil di sana karena saya merasa itu tidak aman,” tutur Femy.

Pada hari ketiga demam, sang suami kembali menjalani tes darah untuk mengetahui apakah dia terserang DBD atau tifus. Hasilnya, kembali negatif. Dengan sedikit berkeras, dia mengajak sang suami menjalani tes swab melalui PCR. Meski awalnya sepat kerepotan mencari tes swab yang hasilnya bisa didapatkan dengan cepat dengan harga yang terjangkau.

Ketika hasil PCR keluar di tanggal 5 Juli, suami Femy dinyatakan positif COVID-19. Rasa kalut memang sempat ada dalam pikiran Femy. “Yang langsung saya pikirkan adalah anakku. Saya mengatur agar PCR anak dan pengasuh dilakukan di rumah agar dia tidak perlu dibawa ke rumah sakit dan lama menunggu hasil di sana karena saya merasa itu tidak aman,” tutur Femy. Usai sang anak dan pengasuhnya menjalani tes PCR, Femy memboyong mereka ke kediamannya sedangkan ia dan suami tetap tinggal di rumah dinas. Setelah mengungsikan sang anak dan memastikan kebutuhan makanan dan lain sebagainya bagi mereka, Femy kembali fokus mengurus sang suami.

“Pola tidurnya hanya sekitar empat jam sehingga asumsinya, imun tubuhnya berkurang. Padahal setiap hari sudah minum vitamin C 1000mg dan air empon rempah untuk menjaga kebugaran.”

Sikap “menyangkal” adalah hal pertama yang mesti diatasi

Hal yang digarisbawahi Femy dari pengalamannya adalah, “Semakin cepat kamu mengetahui kondisi yang sebenarnya, semakin cepat pula kamu bisa mengambil tindakan tepat yang diperlukan.” Sejak sang suami mengalami demam, Femy sempat menduga suaminya terkena COVID-19. Femy yang biasanya mereka tidur satu kasur dengan sang suami dan anak, mulai mengambil tindakan. “Saya pisah kasur meski masih satu kamar. Saya mulai jaga-jaga.”

Meski begitu, sang suami menepis dugaan itu dan merasa bahwa kondisi itu hanya disebabkan kelelahan bekerja. Suami Femy bekerja di sebuah lembaga pemerintahan di daerah yang terdeteksi padat yang sebagai zona merah. Load pekerjaannya terbilang sangat padat dan berkenaan erat dengan kebutuhan masyarakat.

“Pola tidurnya hanya sekitar empat jam sehingga asumsinya, imun tubuhnya berkurang. Padahal setiap hari sudah minum vitamin C 1000mg dan air empon rempah untuk menjaga kebugaran.” Membawa suami untuk menjalani tes swab juga butuh perjuangan hingga agak setengah memaksa. Pasalnya, sang suami masih berusaha positive thinking dan enggan percaya bahwa dirinya kemungkinan terkena virus corona. Sikap menyangkal inilah yang menurut Femy, perlu kita hindari sejak awal jika kita mengalami suatu gejala.

“Ketika kamu demam dalam situasi pandemi ini, demam itu adalah salah satu gejala terkena COVID-19, harusnya ya curiga COVID-19. Lebih baik disangkakan COVID-19, walaupun mungkin bukan ya. Tapi, jauh lebih baik mencegah daripada mengobati,” tegas Femy.

Langkah-langkah merawat keluarga yang isolasi mandiri

Dengan bantuan luar biasa dari sepupunya yang seorang dokter dimana ia berada dalam tim yang mengurusi penanganan COVID-19 dari awal di daerahnya, Femy mulai menata langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merawat sang suami di rumah.

Dalam merawat suami, ini hal-hal yang diterapkan Femy:

  1. Tidur terpisah.
  2. Menggunakan masker medis tiga lapis sepanjang hari, kecuali saat makan dan mandi.
  3. Mengganti masker empat kali sehari.
  4. Membakar masker bekas pakai pasien dan orang yang merawat.
  5. Merendam baju bekas pakai langsung dengan detergen.
  6. Mengepel seluruh ruangan dengan cairan pembersih lantai yang mengandung antiseptik.
  7. Mengajak suami (pasien) berjemur setiap hari.
  8. Menjemur alat tidurnya setiap hari selama 4 jam.
  9. Membuka jendela selama 5 jam.

Beberapa poin didapatkan Femy dari referensi yang diberikan sang sepupu berdasarkan protokol kesehatan yang dikombinasikan dengan sejumlah hal yang dia dapatkan dari berbagai literatur yang ditemukannya melalui riset.

Dirinya juga mencari tahu tentang berbagai asupan vitamin yang dapat dikonsumsi oleh sang suami, mulai dari vitamin C dosis tinggi hingga ramuan herbal. “Karena COVID-19 ini belum ada obatnya.”

“Karena salah satu obat yang paling manjur ya cuma mereka happy. Yang menghancurkan happiness itu adalah stres. Sebenarnya stresnya itu ‘datang’ dari diri kita sendiri, atau dengan kata lain, kita sebagai masyarakat ya.”

Stres adalah hal yang memperburuk kondisi pasien COVID-19

Alasan lain yang membuat Femy dan suaminya memilih isolasi mandiri ialah menghindari stres. Dari pengamatan Femy terhadap sejumlah kasus pasien COVID-19, tingkat stres seseorang memengaruhi seberapa cepat seseorang pulih dari penyakit itu atau bahkan sebaliknya, menjadi lebih parah.

Untuk itu, Femy selalu berusaha membangun mood sang suami dan menyemangatinya“Sempat dia terlihat down dan gelisah, mungkin dia stres memikirkan anak. Jadi ya saya mengajaknya ngobrol sambil bercanda dan bertukar cerita.”

Tak hanya dukungan bagi suaminya, Femy pun berusaha memberikan support bagi kerabatnya yang senasib dengan sang suami. “Di kantornya, setelah diadakan tes swab ditemukan sejumlah orang yang positif. Kami membuat grup Whatsapp untuk saling bertukar informasi dan juga saling mendukung. Itu berpengaruh sekali,” kata Femy.

Sekadar ngobrol menanyakan kabar, ‘Lagi makan apa? Sudah makan belum?’ dan  mengirimi mereka makanan, ternyata sangat signifikan terhadap pemulihan si pasien. Femy menemukan  dukungan dari orang sekitar, sangat besar andilnya dalam proses penyembuhan pasien COVID-19. Oleh karena itu, dia percaya moral support adalah obat terbaik bagi pasien COVID-19.

“Karena salah satu obat yang paling manjur ya cuma mereka happy. Yang menghancurkan happiness itu adalah stres. Sebenarnya stresnya itu ‘datang’ dari diri kita sendiri, atau dengan kata lain, kita sebagai masyarakat ya.”

Stigma masyarakat terhadap pasien COVID-19 harus diubah

Miris rasanya melihat kenyataan bahwa penderita COVID-19 harus merasa malu atau takut jika lingkungannya tahu kondisinya. Padahal, penularan virus corona sangat mungkin terjadi meski kita sudah menjaga diri. Padahal support dari lingkungan seperti tetangga dan kerabat adalah kunci kesembuhan bagi pasien dan keluarga yang merawatnya. “Bahkan ada teman suami yang sampai pindah tempat tinggal ketika tahu terkena COVID-19. Saya bilang, buat apa? Ternyata ya karena khawatir dengan omongan lingkungan sekitar,” tuturnya.

Stigma buruk itu yang membuat seseorang bereaksi menyangkal saat mengalami gejala COVID-19. Saat sudah tahu terkena virus itu pun, ketakutan akan reaksi masyarakat itu akan membuat seseorang stres yang justru memperburuk kondisi tubuh.

Terlepas dari kondisi kesehatan dan dampak psikologis, Femy pun merasakan dampak COVID-19 pada kondisi keuangan keluarganya. Apalagi, asuransi yang dimilikinya tidak cover biaya untuk COVID-19. “Saya kan di rumah. Tidak dibiayain pemerintah. Jadi membayar segala macam itu sendiri. Apalagi sedang sakit begini, kesehatan yang terpenting, apa saja dibeli demi kesembuhan.”

Tes swab untuk sang suami pun tidak dibayarnya dengan murah. Femy yang memilih tes di RS swasta demi mendapat hasil dalam waktu kilat, mengeluarkan uang jutaan untuk sekali tes. Apalagi dia juga perlu membawa anak dan sang pengasuh untuk dites. “Kenapa di awal saya tidak langsung tes swab juga, karena saat itu tidak ada uang lagi. Ini sangat menguras dana darurat. Saya baru tes swab belakangan waktu kantor suami saya menanggung,” ujarnya.

Virus corona bisa menyerang siapa saja, tanpa melihat status dan usia. Bercermin dari pengalaman Femy, penting bagi kamu untuk memilih asuransi yang dapat memberikan perlindungan bagi kamu yang terkena COVID-19. Meski kamu telah menyiapkan dana darurat sekalipun, biaya pengobatan bisa saja melambung dari perkiraan. Di sinilah peran asuransi bisa kamu andalkan. Tidak selalu mahal, tapi kamu bisa sesuaikan dengan kebutuhan. Kamu bisa pilih asuransi kesehatan Astra Life dan juga asuransi jiwa murni Flexi Life yang memberikan Uang Pertanggungan hingga Rp5miliar tanpa perlu tes medis dengan manfaat mencakup penyakit akibat COVID-19 tanpa masa tunggu.

Pandemi belum usai, mari kita hadapi bersama, because #iGotYourBack.

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!