Atau coba lihat makam kuno Tralaya di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Sejumlah batu nisan di sana bertuliskan huruf Jawa Kuno dan Arab berdampingan. Satu mewakili keyakinan Islam, dan satu lagi erat terhubung dengan agama Hindu.
Sementara di kelenteng tertua di Semarang, Jawa Tengah, Sam Poo Kong, entah sudah sejak kapan jadi sentra kegiatan masyarakat dari berbagai latar belakang, mulai dari Tionghoa, Islam, Buddha, sampai Konghucu. Bahkan saat Ramadhan tiba, selalu ada kegiatan buka puasa bersama. Masjid Istiqlal yang megah di ibukota pun dirancang oleh seorang Kristen Protestan, Frederich Silaban.
Semua cerita di atas hanya sebagian kecil saja dari bukti bahwa Indonesia besar karena keberagaman. Dan semua ini juga bukan hanya sejarah, tapi hal yang terus berlangsung sampai detik ini.
Di berbagai daerah di Indonesia, perbedaan dirayakan dengan hidup berdampingan dalam damai. Dalam laporan tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia versi Kementerian Agama RI, Indonesia tercatat sebagai negara paling toleran sedunia, berdasarkan beberapa indikator, seperti salah satunya: Kebijakan hari libur nasional dan perayaan hari besar semua agama.
“Konghucu di Indonesia hanya berjumlah 4-5 juta, tapi hari rayanya dijadikan libur nasional. Umat Islam di Prancis dan Jerman mencapai 10 persen, tapi tidak ada perayaan Idul Fitri atau Idul Adha yang dijadikan hari besar nasional,” ujar Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Prof. Dr. HM Machasin.
Hal ini juga diakui oleh pemimpin negara lain, seperti dari negara-negara anggota ASEAN, atau ketika para pemimpin negara G20 dalam KTT di Turki, 2015 silam, mengakui kekokohan pluralisme di Indonesia.