Yusuf pernah bergabung dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan mujahidin Moro Islamic Liberation Front. Ia sempat menjalani pelatihan militer di Kamp Hudaibiyah, Filipina selatan, selama hampir tiga tahun. Yusuf juga memahami strategi gerilya di hutan dan organisasi tempur, serta piawai menggunakan senjata militer seperti AK-47 dan M-16.
Sepulang dari Filipina, ia terlibat kasus penyimpanan bom milik jaringan Abu Tholut, mantan terpidana bom Marriot 2002. Yusuf ditangkap bersama tiga orang temannya pada 2003 di sebuah rumah kontrakan di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII, Semarang, dalam sebuah penyergapan gabungan Detasemen Khusus 88 dan Polda Jawa Tengah.
Yusuf diganjar 10 tahun penjara oleh pengadilan karena terbukti menyimpan 26 bom rakitan dan amunisi yang daya ledaknya diperkirakan dua kali dari Bom Bali. Ia menjalani masa tahanan di LP Kedungpane Semarang kurang dari enam tahun dan bebas bersyarat pada 2009.
Selama di bui, ia baru menyadari bahwa ideologi yang diyakininya keliru karena memahami ideologi jihad secara membabi buta. Selepas dari penjara, Yusuf ingin hidup normal di masyarakat. Ia menyadari bahwa jalan hidupnya saat itu tak bisa diterapkan di Indonesia, karena ujung-ujungnya hanya berakhir dengan bom bunuh diri.
Ia tidak lagi menganggap Indonesia sebagai bumi jihad, karena tidak jelas musuhnya. “Kawan-kawan alumni JI sekarang banyak yang tidak lagi mendukung teror sebagai bagian dari jihad. Kami juga tidak setuju ISIS, karena menghalalkan darah orang-orang Islam yang tidak berbaiat atau mendukungnya,” ujar Yusuf.