Kiat Kelola Rezeki Nomplok dalam Ilmu Psikologi Keuangan

Dapat rezeki nomplok alias uang kaget? Siapa sih yang bakal menolak? Sayangnya, orang sering kurang bijak mengelola jenis rezeki seperti ini. Akibatnya, uang habis, hasil nihil. Yuk, ketahui cara mengelola rezeki nomplok lebih baik sesuai ilmu psikologi keuangan.

Durasi baca: 7 menit

Kiat Kelola Rezeki Nomplok dalam Ilmu Psikologi Keuangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rezeki nomplok artinya adalah rezeki yang diperoleh tanpa diduga dan dalam jumlah yang cukup besar

Lebih dari pada itu, rezeki merupakan sebuah nikmat yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Umumnya rezeki sangat berkaitan erat dengan kata ‘uang’ meskipun sebetulnya ada banyak bentuknya. Tapi yang pasti, rezeki yang diterima tentulah harus disyukuri. Salah satu caranya adalah dengan cara mampu mengelola uang yang diterima dengan baik, termasuk ketika mendapatkan rezeki nomplok.

Kamu pasti ingat kan, kasus warga desa di Tuban yang mendadak menjadi miliarder dua tahun lalu? Mereka mendadak menjadi miliarder karena tanahnya dibeli oleh Pertamina. Inilah yang dimaksud dengan mendapatkan rezeki nomplok dari hasil jual aset.

Dari penjualan lahan, masing-masing warga bisa mendapatkan ratusan juta, bahkan ada yang sampai Rp24 miliar karena memang punya tanah yang luas.

Namun, apa yang terjadi dua tahun berselang? Salah satu warga yang menerima Rp18 miliar, mengaku kini uang hasil penjualan lahan miliknya tinggal Rp50 juta saja. Berawal dari miliarder berujung keder. Apa penyebabnya? Tentu saja karena pengelolaan rezeki yang tidak benar.

Kisah warga salah satu desa di Tuban di atas bisa jadi salah satu bukti, bahwa tanpa didasari oleh keterampilan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang baik, rezeki—besar atau kecil—juga tidak akan dapat bermanfaat dengan baik.

Berbicara tentang mengelola keuangan dan rezeki nomplok, tahukah kamu kalau hal ini ada kaitannya dengan ilmu psikologi keuangan?

Morgan Housel, seorang penulis, merilis buku The Psychology of Money, menyebutkan bahwa, “Untuk menjadi seseorang yang kaya tidak perlu menjadi pintar, karena mengelola keuangan merupakan suatu soft skill.”

Lebih jauh dalam buku ini, juga ada bagian yang menyatakan bahwa kebiasaan dan karakter seseorang akan mempengaruhi bagaimana ia menggunakan uangnya dengan bijak. Nah, menarik kan?

Yuk, kita bahas lebih dalam kali ini!

The Psychology of Money: Antara Uang dan Psikologis Manusia

Selain yang sudah disebutkan di atas, beberapa hal terkait psikologi keuangan dalam mengelola rezeki yang juga dijabarkan dalam buku The Psychology of Money ini di antaranya sebagai berikut.

Rich dan wealthy adalah dua hal berbeda

Being rich tidak sama dengan being wealthy. Meskipun secara literatur dalam bahasa Inggris, kata rich dan wealth punya arti yang mirip, yaitu kaya dan kekayaan, tapi dasarnya berbeda.

Rich adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika kamu punya uang banyak dan dibelanjakan untuk membeli barang mewah, mobil, perhiasan, dan barang yang lainnya, yang dapat terlihat oleh banyak orang. Sedangkan wealth adalah kondisi ketika kamu menyimpan uangmu dalam tabungan dan investasi, yang tidak bisa dilihat oleh banyak orang.

Terasa kan, bedanya? Kedua hal ini memberikan pembelajaran bahwa menjadi kaya karena hanya ingin membuat orang lain terkesan tidak menguntungkan sama sekali. Bisa jadi, malah dapat menimbulkan masalah keuangan baru di masa depan.

Hal ini juga yang terjadi pada warga Tuban tersebut. Alih-alih membuat rencana keuangan demi pengelolaan rezeki yang lebih baik, banyak di antara mereka yang justru membeli mobil mewah sampai beberapa unit. Hanya sedikit saja yang menggunakannya sebagai modal usaha, atau setidaknya membeli mobil untuk keperluan usaha. Dari sini sudah terlihat, siapa yang ber-mindset wealthy, bukan?

Bersyukur dan merasa cukup atas rezeki yang diterima

Faktanya, tidak semua orang bisa mensyukuri dan merasa cukup atas rezeki yang diterimanya. Orang yang tidak bisa bersyukur, tidak akan merasa cukup meski sudah mendapatkan rezeki nomplok sebanyak apa pun. Parahnya lagi, jika tidak bisa mengelolanya dengan bijak, rezeki akan habis dalam sekejap mata. 

Padahal, dengan merasa cukup dan bersyukur, kita lantas akan bisa bijak dalam mengelola rezeki, berapa pun jumlahnya—besar ataupun kecil lo!

Hal yang sama terjadi juga pada warga Tuban. Uang hasil jual aset miliaran, kini hanya tinggal Rp50 juta. Jika mereka memiliki psikologi keuangan yang baik, maka dana sebesar itu masih bisa diinvestasikan sehingga bisa memberikan imbal hasil yang lumayan.

Mempertahankan kekayaan lebih sulit daripada memperolehnya

Pernah mendengar istilah mempertahankan lebih sulit daripada mendapatkan? Ya, istilah ini juga berlaku dalam hal mengelola keuangan. 

Morgan dalam bukunya menulis ‘getting money is one thing, keeping it is another’. Memang ada banyak cara untuk bisa mendapatkan uang. Namun, untuk mempertahankan uang yang sudah kita miliki hanya ada satu cara, yaitu punya mengelolanya dengan baik. Hal ini juga bisa kita lihat pada warga desa miliarder ini, bukan? Tak banyak dari mereka yang mampu mempertahankan uang yang didapatkan.

Mengapa dua hal ini berbeda? Karena, saat kamu ingin mendapatkan lebih banyak uang, maka kamu harus merasa optimis dan berani menghadapi risiko yang ada. Sedangkan, ketika kamu ingin mempertahankan uang, kamu harus merasa “takut” akan risiko. Misalnya, takut uang menjadi habis dalam waktu sekejap, atau takut terlibat kesulitan. Hal ini akan dapat membuat kamu berhati-hati dalam menggunakannya.

Keputusan keuangan sering kali dilandaskan pada emosi

Sering kali terjadi, ketika kita melakukan pengambilan keputusan keuangan dengan didasari oleh perasaan emosional, iklan, provokasi, dan yang lainnya. Hal ini tentunya tidak baik jika diterapkan dalam mengelola keuangan. 

Uang seharusnya dipakai sesuai dengan kebutuhan dan keperluan, bukan karena emosi sesaat, sifat konsumtif, apalagi karena pengaruh luar.

Nah, jadi, kebayang kan ketika sejumlah warga desa di Tuban tersebuttiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok atau uang kaget. Emosi pasti lantas mendominasi. Yang biasanya punya uang terbatas, tiba-tiba menerima uang dalam jumlah banyak. Persepsinya, dengan uang sebanyak itu, kita bisa membeli apa saja yang kita mau.

Padahal, tidak begitu.

Nah, sampai di sini, sudah mulai terlihat kan, hubungan antara psikologi dengan pengelolaan keuangan?

Jenis Rezeki Nomplok yang Biasa Kita Terima

Sumber rezeki nomplok sendiri bisa bermacam-macam, antara lain:

Warisan

Terdiri atas harga peninggalan dari pewaris yang sudah meninggal dunia kepada ahli waris. Warisan bisa dimasukkan dalam rezeki nomplok karena pembagian warisan ini didapatkan dengan cara hibah atau pemberian sesuai dengan kesepakatan atau keputusan pewaris yang memberikannya setelah ditinggalkan. Jumlahnya bisa sangat besar, jika pewaris memang memiliki aset yang banyak.

Hadiah

Misalnya, hadiah undian, kuis, giveaway, atau semacamnya. Jumlahnya juga bisa sangat besar, tergantung ketentuannya. 

Pesangon

Pesangon biasanya diberikan saat seseorang yang berstatus karyawan mengalami pemutusan kontrak kerja. Uang pesangon ini dari satu sisi bisa dianggap sebagai rezeki nomplok, karena menurut ketentuan, besarannya bisa beberapa kali gaji pokok yang diterima secara rutin selama masih bekerja. Biasanya tergantung pada masa kerja karyawan tersebut.

Klaim asuransi jiwa

Uang pertanggungan asuransi jiwa juga bisa dimasukkan dalam jenis rezeki nomplok, karena biasanya uang yang dicairkan keluarga nasabah bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran, tergantung kesepakatan.

Hasil jual aset

Misalnya, hasil jual properti atau aset yang mahal harganya, seperti yang dilakukan oleh warga desa miliarder di Tuban..Namun, apa yang terjadi dua tahun berselang? Salah satu warga yang menerima Rp18 miliar, mengaku kini uang hasil penjualan lahan miliknya tinggal Rp50 juta saja. Berawal dari miliarder berujung keder. Apa penyebabnya? Tentu saja karena pengelolaan rezeki yang tidak benar.

Kisah warga salah satu desa di Tuban di atas bisa jadi salah satu bukti, bahwa tanpa didasari oleh keterampilan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang baik, rezeki—besar atau kecil—juga tidak akan dapat bermanfaat dengan baik.

Dampak Buruk dari Pengelolaan Rezeki Nomplok yang Kurang Bijak

Karena tak bijak dalam mengelola rezeki nomplok, maka beberapa hal bisa terjadi. Apa saja?

Dana cepat habis

Dana bisa langsung dihabiskan, tidak terkontrol dengan baik, lantaran kaget dan merasakan euforia berlebihan mendapat rezeki nomplok. Hal ini sesuai dengan teori pada psikologi keuangan yang sudah dijelaskan di atas, yang menyebutkan bahwa emosi memang sangat menentukan dalam setiap pengambilan keputusan keuangan.

Pemakaian tidak tepat sasaran

Bingung dan kaget dengan rezeki nomplok yang didapatkan, warga Tuban mulai konsumtif memborong mobil mewah, sepeda motor, dan barang lainnya. Padahal banyak prioritas yang bisa dipilih selain barang-barang tersebut, terutama yang menyangkut masa depan.

Di sini, kita lagi-lagi bisa melihat bukti nyata, bahwa being rich adalah sangat berbeda dengan being wealthy, seperti teori psikologi keuangan yang dipaparkan di atas.

Memunculkan masalah keuangan baru

Saat uang simpanan sudah habis dan tak memiliki pekerjaan setelah pembebasan lahan, warga Tuban akhirnya hanya bisa mengandalkan hewan ternaknya untuk dijual dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Padahal, jika uang miliaran itu dapat dikelola dengan baik, tentu saja keuangan akan aman. Bahkan sampai pensiun.

Kasus lain, misalnya mendapatkan pesangon setelah mengalami PHK. Jika uang pesangon tidak dikelola dengan baik, bisa menyebabkan kita jadi berutang untuk hidup sehari-hari. Padahal penghasilan sedang menurun, bahkan hilang. Pastinya, hal ini akan memunculkan masalah keuangan baru yang lebih besar, bukan?

Yuk, Kelola Rezeki Nomplok dengan Bijak!

Biasanya orang yang menerima rezeki dadakan akan rentan terkena sudden wealth syndrome. Sindrom ini adalah tindakan gegabah setelah ketiban rezeki nomplok dengan uang bejibun. Uang kaget ini benar-benar memberikan dampak ‘kaget’ pada penerimanya. 

Misalnya merasakan syok karena menjadi Orang Kaya Baru (OKB), atau tidak punya prioritas yang pasti karena merasa punya banyak uang. Agar terhindar dari dampak buruknya mengelola keuangan seperti kasus kampung miliarder Tuban, berikut kiat-kiat mengelola rezeki nomplok agar tidak terkena sudden wealth syndrome.

Sebenarnya, dengan memahami tentang psikologi keuangan saja bisa menjadi solusi untuk mengelola uang rezeki nomplok.

Hal-hal yang bisa kita lakukan antara lain:

  1. Bersyukur dan merasa cukup dengan rezeki yang diterima
  2. Merealisasikan rasa syukur tersebut dengan bijak dalam membelanjakannya.
  3. Menyusun rencana keuangan untuk memanfaatkan rezeki nomplok tanpa dikuasai emosi, utamanya untuk membayar utang-utang terlebih dulu.
  4. Tak hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga dikelola untuk jangka waktu yang lebih panjang
  5. Uang yang banyak seharusnya dibiarkan “bekerja”, sehingga bisa memberikan penghasilan lain berupa passive income untuk kita

Miliki safety net yang cukup: dana darurat dan asuransi yang sesuai dengan kebutuhan.

Saat ini sudah banyak sekali kasus orang yang menyia-nyiakan rezeki nomplok atau uang kaget yang diterima. Sebenarnya, tidak apa-apa jika hendak warga desa di Tuban tersebut menggunakan uang hasil rezeki nomplok yang mereka dapatkan untuk belanja barang-barang yang diinginkan, tetapi harus dipikirkan juga manfaatnya untuk jangka waktu yang lebih panjang. Alih-alih hanya membeli mobil mewah untuk dipakai sendiri, mengapa tak membeli mobil agar bisa disewakan, atau membeli pickup untuk usaha. Atau, membeli lahan untuk membuat sawah baru, karena sawah yang lama sudah dibeli oleh Pertamina.

Membelanjakan uang hasil rezeki nomplok dengan tidak bijak, ujung-ujungnya uang habis, hasilnya nihil. Yuk, kelola dengan baik supaya pemakaian tepat sasaran, dan bisa menjadi ungkapan syukur atas rezeki yang diterima.

Jangan lupa lengkapi asuransimu, terutama asuransi jiwa. Kamu bisa memilih Flexi Life dari Astra Life. Kamu tidak perlu melakukan medical check up, dan bisa mengajukan perlindungan jiwa hingga Rp5 miliar. Bebas pilih besarnya perlindungan atau uang pertanggungan, masa pertanggungan, masa pembayaran premi, dan juga mengajukan perubahan sesuai kebutuhan secara online melalui portal nasabahnya dalam satu genggaman di Polis Flexi Life. Tanpa ribet!

Apabila kamu tertarik untuk mencari informasi lebih lengkap terkait Astra Life Flexi Life dan produk asuransi dari Astra Life lainnya, maka kamu dapat langsung mengunjungi laman ilovelife.co.id.

Jangan lupa mantengin akun Instagram @astralifeid untuk update soal keuangan.

Urusan Sehat, No Worries. #iGotYourBack

Artikel Lainnya

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!

Tentang –

Kami menghadirkan cerita dan kisah hidup yang inspiratif serta tips terbaik untuk menyadarkan kita agar terus mencintai hidup.

Terus Dapatkan Inspirasi, Subscribe Sekarang!